Ini adalah sebuah cerpen sederhana yang
di angkat dari kisah nyata seorang sahabat saya tercintah yang berinisial VM.
Begitu terharu nya saya membaca cerpen ini sampai-sampai menitikkan air mata
yang jatuh amat deras bagai air hujan yang menetes ke genteng, paralon, pohon,
aspal dan tanah yang sudah di injak oleh ribuan jejak sepatu (*alah) dan ketika
saya membacanya ada rasa ketidakpercayaan apakah ini fakta selektif posesif
atau negative (?) (naoon deuih) haha.
Yaa, saya amat tidak menyangka dengan
cerita di atas. Namun, apalah daya saya sebagai sahabat hanya bisa menyuprot
nya .. yak cheers! My prend! ^_^
Untuk mengetahui ceritanya? Okee
cekidooooots! ;)
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Udara malam yang begitu dingin menusuk
hingga sampai ke tulangku, aku memandang bulan yang indah, membuat hatiku
menjadi tenang dan damai. Senang rasanya saat aku terdiam di bawah cahaya
bulan. Ku terus memandangi bulan yang di temani ribuan bintang yang berkelip
lewat jendela kamarku.
Terdengar suara teriakan “ALISHAAAAAAAAAAA..”
teriak mama memanggilku. Cepat-cepat aku turun ke bawah. “sha, sebelum
tidur kunci dulu pintu gerbang depan gih!” seru mama. Aku lalu mengunci
gerbang lalu bergegas kembali ke kamar.
“Alisha Syafia” itulah namaku, aku
seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Aku tinggal dengan
mama, ayah dan seorang adik laki-laki.
Sejak kecil aku mengetahui siapa diriku
yang sebenarnya. Aku hanyalah seorang anak angkat. Tetapi hingga sekarang aku
berpura-pura tidak mengetahui apa-apa sampai mereka menceritakannya sendiri
kepadaku. Alasannya pertama karena aku tak ingin membuat mereka bersedih dengan
pertanyaanku mengenai siapa aku sebenarnya. Dan yang kedua karena orang tua
kandungku yang memintaku untuk diam dan berpura-pura untuk tidak mengetahuai
apapun.
Aku tahu siapa orang tuaku yang
sebenarnya. Orang tuaku sudah bercerai sekitar dua tahun yang lalu. Mama
kandungku kini tidak bekerja. Dan ayah kandungku mengidap Schizofrenia (salah
satu gangguan jiwa). Aku memiliki seorang kakak, dia telah menikah dan memiliki
seorang anak laki-laki yang masih berumur tiga tahun, dan akupun memiliki tiga
orang adik.
Seringkali aku mendengar orang-orang
mencela ayahku. Hanya karena ayahku mengidap Schizofrenia. Ingin sekali aku
marah dan memberi pelajaran untuk orang-orang yang telah menghina ayahku.
Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat berdo’a agar Allah
dapat menyembuhkan ayahku.
Siang ini aku datang menjenguk ayahku
di rumahnya. Saat aku memasuki kamarnya aku tersentak melihat keadaan ayah yang
nampak tak terawat. Sampah berserakan di lantai kamarnya. Baju kotor berserakan
di atas tempat tidur. Aku coba terus menahan air mataku. Aku tidak ingin
menangis di hadapan ayah.
Ku cium tangannya sambil ku tanyakan
kabarnya, dengan senyuman ayah menjawab “Alhamdulillah baik, bagaimana
kuliahmu nak? Kalau berangkat sama kuliah siapa yang mengantarmu? Kalau tak ada
yang mengantar atau menjemptmu, telfon ayah saja, biar ayah yang menjemputmu.”
Ayah terus tersenyum.
Dengan mata yang berkaca-kaca aku
menjawab “kuliahku lancar yah. Alhamdulillah aku kuliah pakai motor, jadi
ayah tidak usah khawatir". aku terus menahan air mata ini agar tidak
menetes di depan ayah.
Aku merasakan perasaan yang campur
aduk, aku rindu sekali pada ayah, aku senang melihat ayah mau berbincang
denganku. Selama ini orang-orang mengatakan bahwa ayah gila. Itu salah besar,
ayah tidak seperti itu.
Lama aku dan ayah berbincang-bincang
dan bercanda tawa. Tetapi rasa rinduku pada ayah tidak ada habisnya. Rasanya
ingin sekali aku terus menemani ayah, mengajaknya bercanda tawa. Tetapi aku
harus pulang.
Ku cium lagi tangannya, lalu aku
memeluknya erat, kini aku tidak dapat menahan bendungan air mata yang semenjak
tadi telah ku tahan. Aku menangis di dalam pelukan ayah. Air mata ini terus dan
terus mengalir tanpa terhentikan.
“mengapa kau menangis anakku? Apakah
aku telah membuatmu bersedih?”
nada suara ayah terdengar lemah.
“tidak yah, justru aku menangis
bahagia, aku bahagia bisa bertemu ayah, aku bahagia bisa bercanda tawa lagi
dengan ayah, aku bahagia dapat mencium tangan ayah, aku bahagia dapat memeluk
ayah, saking bahagianya aku sampai menangis.” Jawabku.
Ayah lalu mencium pipi dan keningku “jangan
menangis lagi ya nak, hapus air matamu, ayah tidak ingin melihat putri ayah
yang cantik ini menangis, ayah ingin melihat putri kesayangan ayah tersenyum
bahagia” Ayah menenangkanku.
Ayah mengusap air mataku, aku tersenyum
pada ayah. Dan aku pamit pulang pada ayah. Di sepanjang jalan aku menangis dan
terus menangis. Benar-benar tidak dapat terbendungkan air mata ini.
Berbulan-bulan aku tidak mengunjungi
ayah, aku terlalu sibuk dengan kuliahku. Hingga suatu hari adik dari ayah
menikah dan aku di undang untuk hadir ke acara pernikahannya.
Saat aku datang, aku melihat ayah, ayah
terlihat tampak sangat rapi dan tampan, aku tersenyum padanya dan ayahpun
membalas senyumku. Aku mencium tangannya dan ayah terus tersenyum padaku.
Selama acara berlangsung aku hanya
memperhatika ayah, melihat ayah yang mondar-mandir kesana kemari untuk menyapa
orang-orang yang hadir, wajahnya tampak berseri-seri. Dan aku sangat bahagia
melihatnya hingga tak terasa air mataku menetes.
Begitu bahagianya aku melihat ayah
begitu sehat dan akrab dengan orang-orang. Walaupun terkadang masih tampak
terlihat ayah tersenyum sendirian. Tapi aku senang melihat ayah sudah dapat
berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.
Sampai acara itu berakhir aku hanya
memperhatikan ayah. Dan lagi-lagi aku harus pulang. Aku berpamitan pada ayah,
aku mencium tangannya dan ayah membalas dengan mencium keningku. Begitu bahagia
rasanya.
Seminggu setelah acara pernikahan itu
aku belum sempat untuk menemui ayah lagi. Hingga suatu malam aku ingin sekali
menemui mama. Aku datang ke rumah mama untuk sekedar melihat keadaannya.
Mama menceritakan tentang ayah
kepadaku.
“sayang, ayahmu benar-benar
menyayangimu. Di antara anak-anaknya ayahmu paling sayang sama kamu, sebelum
bercerai, setiap hari yang ia bicarakan itu Cuma kamu nak. Yang ia pajang di
dompetnya itu foto kamu, yang ia jadikan wallpaper itu foto kamu, sampai
gantungan kunci motornya pun ia gantungkan 10 fotomu nak, selalu kamu yang ia bicarakan,
ayahmu bilang ia ingin sekali menjadi wali jika kamu menikah nanti.” Cerita mama kepadaku.
Mendengar semua itu aku tak kuat
menahan air mataku. Ingin sekali saat itu juga aku memeluknya erat-erat dan
mencium tangannya.
“selama ayah masih ada, aku hanya ingin
ayah yang akan menjadi wali nikahku nanti mah, aku tak ingin orang lain, hanya
ayah yang aku mau.” Ucapku sambil menangis di pelukan
mama.
Mama mengusap kepalaku dengan hangatnya
sambil berkata “selalu berdo’a pada Allah ya nak, selalu do’akan ayahmu di
beri kesehatan”.
Malam harinya kakakku datang dengan
wajah yang sangat murung. Aku dan mama bingung melihatnya. Tiba-tiba kakaku
menangis terisak-isak, aku dan mama terkejut melihatnya.
“kamu kenapa? Mengapa kamu menangis
nak?” Tanya mama pada kakaku.
Kakakku lalu menceritakan
semuanya. Adik dari ayah mengatakan seharusnya kakak membawa ayah pergi dari
rumahnya. Mereka meminta kakakku untuk mengurus ayah.
“kalau saja aku kaya dan memiliki
banyak uang, aku akan membawa ayah pergi dari rumah itu. Tapi mau gimana? Aku
tidak punya cukup penghasilan untuk membiayai pengobatan ayah, untuk menafkahi
istri dan anakku saja aku sudah banting tulang” ucap kakaku sambil menangis.
“aku harus bagaimana mah? Apa aku harus
mengorbankan istri dan anakku untuk dapat membiayai pengobatan ayah? Apa aku
harus menceraikan istriku agar aku dapat berkonsentrasi mencari uang untuk
ayah?” kakakku terus menangis.
Mendengar perkataannya aku dan mama ikut
menangis. Aku merasa bersalah sekali karna aku tak dapat berbuat apa-apa untuk
keluargaku.
“mah. Aku telah menjadi anak durhaka” seru kakaku.
“mengapa kau berkata demikian anakkku?” Tanya mamaku sambil terus menangis.
“setiap aku shalat, aku selalu berdo’a
pada Allah, ya Allah, sembuhkanlah ayahku, tapi jika Engkau tak
menyembuhkannya, maka cabutlah nyawanya. Aku selalu berdo’a seperti itu.
Biarlah aku menanggung semua dosanya. Yang penting aku tidak melihat ayah
tersiksa seperti ini mah.”
Mendengar perkataan kakakku air mataku semakin mengalir tanpa tertahankan.
“mah, terkadang aku berfikir untuk
membunuh ayah, ingin sekali aku membunuh ayah. Bukan karena aku membencinya,
justru karena aku menyayanginya, aku tidak ingin melihatnya seperti ini, aku
tidak ingin melihat ayah di olok-olok oleh orang-orang, aku tidak ingin ayah di
anggap menjadi beban untuk keluarganya di sana.” Ucap kakakku.
Mendengar ucapan kakakku mama lalu
terlihat sangat sedih dan berkata “mengapa kau berani sekali mengeluarkan
kata-kata itu anakku? Seharusnya kamu berfikir jika kamu melakukan hal itu kamu
akan mendapatkan dua kerugian yang amat sangat besar, yang pertama kamu akan
merugi di akhirat, karna kamu telah melakukan dosa yang amat sangat besar, bahkan
mungkin dosamu tidak akan di ampuni, yang ke dua kamu akan mendapat kerugian di
dunia, kamu akan masuk penjara dan bagaimana nasib istri dan anakmu? Bagaimana
mama? Apa kamu berfikir sampai ke sana anakku?” ucap mama sambil terus
menangis.
“maafkan mama anak-anakku, sebenarnya
tak ingin mama berpisah dengan ayah kalian, tapi mama melakukan ini supaya
keluarganya disana dapat berfikir dan dapat membiayai pengobatan ayah kalian.
Karena selama dengan mama, ayah kalian tidak akan dapat di obati, mama tidak
sanggup membiayai pengobatannya. Yang mama harapkan setelah bercerai
keluarganya disana dapat membiayai pengobatannya, tapi ternyata semua tidak
sesuai dengan yang mama harapkan. Mereka justru menelantarkan ayah kalian. Mama
benar-benar memohon maaf pada kalian, karena mama telah mengecewakan kalian.” Mama terus menangis sambil memeluk aku
dan kakakku.
Sakit dan hancur rasanya hati ini.
Mengapa aku tidak dapat berbuat apa-apa. aku merasa menjadi anak yang tidak
berguna. Melihat kondisi keluargaku yang seperti ini aku hanya dapat terdiam
tanpa berbuat apa-apa.
Tetapi aku berfikir dan terus berfikir.
Aku tidak ingin melihat keluargaku terus seperti ini.
Semenjak saat itu aku mulai serius
dengan kuliahku, aku berusaha untuk menjadi yang terbaik. aku bertekad untuk
dapat membahagiakan keluargaku, dan bercita-cita untuk dapat membiayai
pengobatan ayah hingga ayah sembuh.
Akhirnya aku lulus kuliah dengan nilai
terbaik, dan kini aku bekerja di salah satu Rumah sakit ternama di Bandung. Dan
akupun dapat membiayai pengobatan ayah hingga ayah kini dapat sembuh dan
kembali normal seperti dahulu kala.
Dan saat aku menikah, ayahlah yang
menjadi waliku. Kini ayah dan mama kembali rujuk. Dan mereka tinggal bersama
denganku dan keluarga kecilku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Ayah
kau segalanya untukku
kaulah motivasi di dalam hidupku
kaulah yang dapat memberikan ketenangan
untukku
melihatmu tersenyum membuatku sangat
bahagia
Ayah
Kau peluk aku
Kau cium keningku
Kau membuatku bahagia
Kau membuatku menjadi wanita yang kuat
Ayah
Kau ajarkanku cinta
Kau ajarkanku kasih sayang
Kau ajarkanku ketulusan hati
Kau ajarkanku segalanya
Ayah
Kaulah hal terindah dalam hidupku
Kaulah penyejuk hatiku
Kaulah yang paling aku sayangi
Ayah
Aku mencintaimu karna Allah
karya : VM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar