sampurasun! ^_^
Pertama-tama saya ucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah
menjodohkan saya dengan buku ini, keluarga terutama aa yang telah
menginisiatifkan saya ke salah satu mall di bandung supaya tidak bosan menunggu
karna pada hari itu kebetulan saya harus menyervis motor dan memerlukan waktu
yang amat sangat lama dan akhirnya saya memutuskan pergi kesana juga sendirian
dengan tempat tujuan yang tiada lain dan tiada bukan yaitu toko buku , juga tak
luput bagi seluruh penghuni blog yang senantiasa meluangkan waktunya untuk
membaca blog ini (alaah ._.)
Okee, mungkin saya berjodoh dengan buku ini . begitulah kata hati nurani
saya ketika di toko buku. Mengapa saya mengatakan demikian? Karna, sebenarnya
saya tidak begitu niat ke toko buku dengan alasan saya sendirian dan tidak ada teman,
takut di culik tepatnya #plaa
Namun, ketika saya keliling-keliling memilih buku yang akan di
baca, mata saya lansung tertuju dan tersorot kepada sebuah buku yang berjudul
“Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk”.
Sebenarnya sudah lama sekali saya mencari buku
ini, namun karna Allah belum mengizinkan maka buku nya tidak ketemu-ketemu. akhirnya sadya pudya kawaza (Alhamdulillah) sekarang Allah sudah mengizinkan daaaan langsung deh
saya beli bukunya :D
Disini saya berpikir, mungkin Allah memberikan sebuah petunjuk kepada
saya agar dapat mengintropeksi diri sendiri melalui sebuah buku. Dan nyatanya
memang terbukti, ketika saya membaca buku ini, saya merasa tersindir dengan apa
yang dikatakan penulis buku tsb dan mencoba untuk berusaha sebaik mungkin.
Mengapa saya bisa
tersindir dan bagaimanakah isi buku tsb?
Okee check it out! Selamat menyimak ;)
Mungkin di antara teman-teman sudah membaca dan sudah mempunyai
buku ini, namun tidak ada salahnya saya memberikan ilmu yang telah saya dapat.
cheers! ^^
cheers! ^^
“Tuhan, maaf,
kami orang-orang sibuk. Kami memang takut neraka, tetapi kami kesulitan mencari
waktu untuk mengerjakan amalan yang dapat menjauhkan kami dari nerakaMu. Kami
memang berharap surga, tapi kami hampir tak ada waktu untuk mencari bekal
menuju surgaMu”
Berapa jam dalam sehari anda sempatkan waktu untuk beribadah dan
berkomunikasi dengan Allah ? berapa penghasilan atau uang jajan yang anda
sisihkan dalam sebulan untuk bersedekah?
Ya, dari dua pertanyaan ini sudah menunjukkan karakter kita yang
lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan dunia daripada akhirat.
Tak sadar di hadapan Tuhan seolah-olah kita adalah orang tersibuk,
padahal seluruh waktu, seluruh jatah usia, bahkan hidup kita seharusnya kita
persembahkan dalam pengabdianNya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku” (QS.Adz-Dzariyat: 56)
Kita sudah sedemikian berani berbohong kepada Allah.
Di setiap
iftitah begitu mudah kita ucap “innash shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa ma
maati lillahi rabbil ‘aalamiina” yang artinya “sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, matiku, hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.
Tetapi kelakuan kita
justru mengingkarinya.
Tuhan kita Mahaadil. Tetapi mengapa kita tak adil kepadaNya? Ketika
ada sms masuk, kita begitu bergegas membaca dan membalasnya, tetapi mengapa
ketika Tuhan memanggil-manggil untuk menghadapNya kita begitu berani
menunda-nundanya?
Saudaraku, dengarlah kalimat-kalimat muadzin yang berkumandang
paling tidak lima kali sehari. Kalimatnya tak hanya mengajak kita untuk
melaksanakan shalat, tetapi di susul dengan tawaran kesuksesan.
Dengarlah
panggilan Tuhan yang dikumandangkan oleh muadzin, “hayya ‘alash sholah” yang artinya mari menunaikan shalat. Tak cukup
hanya itu, tetapi di lanjut dengan balasan yang indah, “hayya ‘alal falah” yang artinya mari meraih kemenangan.
Seolah Tuhan berkata, wahai manusia berhentilah dari rutinitas
kerjamu, istirahatlah sejenak dari kesibukanmu. Shalatlah dan sambutlah
kemenangan. Shalatlah dan sambutlah kesuksesan.
Manusia begitu pelit kepada Tuhan, bahkan untuk bersedekah pun kita
menyisih-nyisihkan harta kita. Kita
begitu boros untuk dunia, tetapi untuk bekal kehidupan abadi, malah kita tabung
harta yang tersisih.
Betapa kecilnya harga uang ketika kita sedang berhadapan dengan
penjual baju. Betapa murahnya angka satu juta ketika kita sedang shopping.
Betapa kecilnya angka seratus ribu ketika kita belikan pulsa. betapa besarnya
nilai uang seratus ribu apabila di bawa ke masjid untuk di sumbangkan, tetapi
betapa kecilnya kalau di bawa ke mal untuk di belanjakan.
Ya Allah, tak sadar kita begitu pelit ketika di hadapkan pada bekal
akhirat, tetapi untuk menuruti nafsu dan keinginan-keinginan dunia betapa ringan
kita rogohkan tangan. Padahal seharusnya justru sebaliknya “pelitlah untuk
dunia dan boroskan harta untuk akhirat”
Tapi, tidak. Semua orang sudah begitu terjungkal konsep
pemikirannya dalam memaknai hidup. Ingatlah ketika shalat, kita seolah tak
kerasan dan betah berkomunikasi dengan Tuhan. Jangankan khusyuk, bahkan
menyadari apa yang sedang di baca saja tak sempat.
Betapa lamanya 15 menit jika kita gunakan untuk menyembah Allah,
tetapi betapa singkatnya jika digunakan untuk melihat film. Betapa nyamannya
apabila pertandingan bola ada perpanjangan waktu, namun ketika mendengar
khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa kita begitu mudahnya untuk
mengeluh.
Saudaraku, berapa waktu pagi yang kita habiskan untuk membaca
Koran?
Kemudian bandingkan berapa waktu yang kau habiskan untuk membaca
Surat Cinta dari Tuhan. Ah, betapa sulit menyempatkan waktu untuk membaca satu
halaman Kitab Suci, tapi betapa mudahnya membaca ratusan halaman novel atau
komik.
Saudaraku, kita lebih sering menghabiskan sisa usia dengan
obrolan-obrolan tanpa makna, tetapi untuk berdoa kepada Allah berapa waktu yang
kita sisihkan ? astagfirulloh, betapa sulitnya kita merangkai kata demi kata
ketika berdoa kepada Tuhan, namun betapa mudahnya kita menyusun kalimat panjang
ketika menggunjing tetangga, bergosip dengan teman dan mengobrol tanpa makna.
Betapa semangatnya kita duduk di barisan paling depan ketika
menonton pertandingan atau konser music, tetapi ketika berjemaah mengapa kita
lebih memlilih shaf terbelakang?
Betapa sulitnya mempelajari arti yang terkandung di dalam kitab
suci. Betapa sulitnya kita mengimani apa yang dikatakan Allah SWT, dan Rasul
SAW , tetapi betapa mudahnya kita mempercayai apa yang di katakana oleh Koran.
Ya! Tiap hari Koran seolah menjadi sarapan wajib, tetapi hampir tiap hari
seolah tak ada jeda untuk mengisi waktu dengan tilawah.
Ibnu Athaillah berkata, “menunda
beramal saleh guna menantikan kesempatan yang lebih luang termasuk tanda
kebodohan diri” .
Ya, kebodohan diri. Betapa bodohnya diri yang tak tahu berapa lama
Allah menjatah umurnya, tetapi dengan tenang ia lakukan aktivitas dunia dengan
menunda-nunda kebaikan.
Betapa bodohnya jiwa yang telah tahu bahwa belum tentu esok
ia masih bisa bernapas lega, tetapi dengan beraninya hidup dalam santai dan
lupa bahwa momentum kebaikan takkan terulang untuk kesekian lainnya.
Bertahun-tahun begitu mudah kita habiskan usia untuk memuaskan
nafsu-nafsu. Bertahun-tahun begitu mudah kita mengumbar semua keinginan. Tetapi
mengapa untuk berpuasa beberapa hari saja kita terlalu banyak mengeluh. Mengapa
untuk menahan diri beberapa saat saja ka uterus mengiba.
Ah, setiap orang
begitu takut ketika di ancam neraka, tetapi kelakuan-kelakuan mereka
seolah-olah sedang memohon untuk dimasukkan ke neraka secepatnya. Betapa setiap
orang ingin menginjakkan kaki di pelataran surge, tetapi kelakuan-kelakuannya
justru menjauhkannya.
“semua umatku
akan masuk surge kecuali yang enggan memasukinya. Siapa yang menaatiku akan
memasuki surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan
masuk surga” (HR. bukhari)
source : buku "Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk" karya Ahmad Rifa'i Rif'an
Postingan yg bagus mba gina puspitasari :)
BalasHapusSemoga karya Mas Rifai makin bertebaran dan bermanfaat bagi sesama :)
semoga memberikan manfaat :)
Hapusaamiin :)
gan kalo pengen ngesavi ini gimana..kalo mdi copas boros tinta item nya gan...ganti warna standar aja gan :D
BalasHapusengga ngaruh ko.. copas aja :)
HapusNice Info Jangan Lupa Kunjungi http://jasapembuatanskripsimurahsurabaya.blogspot.co.id/
BalasHapusH5
BalasHapusGood
ayoo tamat in :D
BalasHapus